Memahami Kurban Versi Mbah Wahab dan Versi Mbah Bisri

Humor, Mimbar Ide116 Dilihat

Annahdlah.com – Seperti ditulis oleh Nadirsyah Hosen dalam buku Mari Bicara Iman, konon ada ada seseorang yang menemui KH. Bisri Yamsuri, seorang kiyai pakar fikih yang sangat ketat.

Orang tersebut sowan ke Mbah Bisri hendak bertanya soal kurban, “Mbah. saya mau berkurban sapi tahun ini. Saya ingin sapi itu menjadi kenderaan saya sekeluarga di akhirat.”

“Oh, bagus. Sapi itu untuk 7 orang. Berapa jumlah keluargamu?”
“Tujuh orang dewasa dengan tambahan anak yang masih kecil. Total berjumlah delapan. Apakah seperti itu boleh?” tanya orang tersebut.

“Wah, tidak boleh. Sapi hanya untuk tujuh orang,” jawab Mbah Bisri dengan tegas.

Orang tersebut kemudian pamit pulang dengan hati yang galau. Maka setelah itu, ia pun pergi ke rumah KH. Wahab Hisbullah, seorang ahli ushul fikih yang pemikirannya terkenal longgar dan dinamis.

Dihadapan Mbah Wahab, orang tersebut mengajukan persoalan yang sama, maka Mbah Wahab pun menjelaskan, “Oh, boleh. Hanya saja, karena anakmu yang terakhir itu masih kecil maka harus ada tangga atau penopang agar ia bisa menaiki sapi itu.

Tangga atau penopangnya adalah seekor kambing. Jadi, kamu kurban satu sapi ditambah satu kambing untuk semua keluargamu.”
“Oh, begitu. Tidak masalah, Mbah. Jangankan satu kambing, dua kambing pun saya siap. Yang penting kami sekeluarga bisa naik sapi di akhirat nanti.
__________________________________

Kisah ini terdengar lucu, tapi mengandung nilai kearifan. Baik Mbah Bisri maupun Mbah Wahab sebenarnya pendapatnya sama bahwa kurban sapi hanya untuk 7 orang. Namun, keduanya menggunakan pendekatan yang berbeda .

Solusi Mbah Wahab membolehkan kurban sapi untuk delapan orang, tapi harus ditambah kambing, sebenarnya mengartikan bahwa sapi hanya boleh untuk 7 orang dan kambing tersebut sebenarnya merupakan kurban untuk anak kecil yang sudah tidak bisa terakomodasi di dalam kurban sapi tersebut.

Jadi, anak kecil tersebut sebenarnya bukan kurban sapi, melainkan kambing.

Tetapi, cara Mbah Wahab menyampaikannya melalui cara yang cerdik dan tampak jenaka. Dengan demikian, hal tersebut membuat tamunya bisa menerima dengan senang hati. Ini sekaligus juga menunjukkan bahwa betapa Islam sangat menghargai perbedaan pendapat.

(Sumber Bacaan: Ketawa Ambyar Ala Santri, Muhammad Muhibbuddin)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terkini